06 Agustus 2009

Ramadhan Kariim


dakwatuna.com - Alhamdulillah, do’a-do’a kita dikabulkan Allah swt. Kita dipertemukan dengan Ramadhan untuk yang kesekian kalinya. Kita tetap berdo’a, semoga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan yang terbaik bagi kita di sisi Allah swt.

Ikhwah dan akhawat fillah, pengunjung situs www.dakwatuna.com yang dimuliakan Allah SWT, kami mengucapkan:

“Selamat Menunaikan Ibadah Ramadhan 1429 H. Semoga Allah menganugerahkan kepada kita, kepada Anda dan umat Islam semua kebaikan, kemudahan, keberkahan, ampunan, rahmat dan pembebasan dari api neraka.” Amin

Menyambut Ramadhan adalah dengan menyiapkan jiwa dan mengkondisikan qalbu, dengan melaksanakan taubatan nashuha, taubat yang sebenarnya.

Muslim dan muslimah hendaknya memasuki Ramadhan dalam keadaan bertaubat, beristighfar, dan kembali kepada Tuhannya, dengan niat yang benar dan tekad yang kuat.

Tidak sedikit umat muslim sebelum kedatangan Ramadhan menyiapkan hanya dengan sesuatu yang melezatkan fisik berupa aneka makanan dan minuman, padahal Ramadhan adalah bulan shaum atau puasa.

Allah swt. menghadirkan bulan ini adalah dalam rangka menyiapkan qalbu dan jiwa untuk bertaqwa. Allah swt. berfirman:

يا أيها الذين آمنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertaqwa.” Al Baqarah:183

Saudaraku, bulan Ramadhan merupakan bulan “semi bagi kehidupan lebih Islami”, karena kehidupan begitu berubah segalanya.

Akal berubah, dengan ilmu dan pengetahuan. Bulan Ramadhan adalah bulan kajian dan ceramah. Qalbu berubah, dengan membaca Al Qur’an, dzikir, dan do’a. Fisik berubah, pencernaan menjadi lebih stabil dan normal, sehingga lebih sehat, karena faktor sakit lebih banyak disebabkan oleh pencernaan atau makanan.

Bulan Ramadhan adalah bulan dibukanya pintu-pintu surga dan ditutupnya pintu-pintu neraka. Dengan demikian, bulan ini memberi pengaruh besar bagi kehidupan umat muslim, mereka terdorong untuk memperbanyak amal kebaikan, mempersedikit keburukan, bahkan manusia berlomba dalam memberi sedekah.

Kebanyakan umat muslim mengeluarkan zakat, infaq, dan sedekahnya di bulan Ramadhan, sehingga mereka memperoleh kelipatan pahala.

حديث رسول الله (ص) “من أدى فيه فريضة كان كمن أدى سبعين فريضة فيما سواه”

Rasulullah saw. bersabda: “Barangsiapa melaksanakan kewajiban, baginya seperti orang yang melaksanakan tujuh puluh kewajiban di luar Ramadhan.”

Puasa Itu Memang untuk Orang-Orang Beriman


dakwatuna.com – Hai orang-orang yang beriman, telah diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu menjadi orang yang bertakwa“. (Al-Baqarah: 183)

Ramadhan adalah ” الشهر كله “, bulan segala kebaikan: bulan ampunan, bulan tarbiyah (pembinaan), bulan dzikir dan doa, bulan Al-Qur’an, bulan kesabaran, bulan dakwah dan jihad. Masih banyak lagi makna-makna lain bulan Ramadhan yang memberikan tambahan kebaikan dan manfaat yang luar biasa bagi kehidupan dunia dan akhirat kaum beriman.

Seluruh kebaikan dan keutamaan itu, dalam bahasa Rasulullah, diistilahkan dengan ‘syahrun mubarak‘. Ini seperti yang tersebut dalam sebuah haditsnya, “Akan datang kepada kalian bulan Ramadhan, bulan mubarak. Allah mewajibkan di dalamnya berpuasa. Pada bulan itu dibukakan untuk kalian pintu-pintu surga dan ditutup pintu-pintu neraka, setan-setan dibelenggu, serta pada salah satu malamnya terdapat malam yang lebih baik daripada seribu bulan, yaitu lailatul qadar. Barangsiapa yang terhalang untuk mendapatkan kebaikan di bulan itu, maka ia telah terhalang selamanya.” (Ahmad dan Nasa’i)

Mubarak dalam konteks Ramadhan artinya ‘ziyadatul khairat‘, bertambahnya pahala yang dijanjikan oleh Allah bagi para pemburu kebaikan dan semakin sempitnya ruang dan peluang dosa dan kemaksiatan di sepanjang bulan tersebut. Sungguh satu kesempatan yang tiada duanya dalam setahun perjalanan kehidupan manusia.

Ayat di atas yang mengawali pembicaraan tentang puasa Ramadhan jika dicermati secara redaksional mengisyaratkan beberapa hal, di antaranya: pertama, hanya ayat puasa yang diawali dengan seruan ‘Hai orang-orang yang beriman’. Sungguh bukti kedekatan dan sentuhan Allah terhadap hambaNya yang beriman dengan mewajibkan mereka berpuasa, tentu tidak lain adalah untuk meningkatkan derajat mereka menuju pribadi yang bertakwa ‘La’allakum tattaqun‘.

Ibnu Mas’ud ra merumuskan sebuah kaidah dalam memahami ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan ‘Hai orang-orang yang beriman’, “Jika kalian mendengar atau membaca ayat Al-Qur’an yang diawali dengan seruan ‘hai orang-orang yang beriman‘, maka perhatikanlah dengan seksama; karena setelah seruan itu tidak lain adalah sebuah kebaikan yang Allah perintahkan, atau sebuah keburukan yang Allah larang.” Keduanya, perintah dan larangan, diperuntukkan untuk kebaikan orang-orang yang beriman. Memang hanya orang yang beriman yang mampu berpuasa dengan baik dan benar.

Kedua, bentuk perintah puasa dalam ayat di atas merupakan bentuk perintah tidak langsung dengan redaksi yang pasif: ‘telah diwajibkan atas kalian berpuasa‘. Berbeda dengan perintah ibadah yang lainnya yang menggunakan perintah langsung, misalnya shalat dan zakat: ‘Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat‘. Demikian juga haji: ‘Dan sempurnakanlah haji dan umrah kalian karena Allah‘. Redaksi sedemikian ini memang untuk menguji sensitifitas orang-orang yang beriman bahwa bentuk perintah apapun dan dengan redaksi bagaimanapun pada prinsipnya merupakan sebuah perintah yang harus dijalankan dengan penuh rasa ‘iman‘ tanpa ada bantahan sedikitpun, kecuali pada tataran teknis aplikasinya.

Ketiga, motivasi utama dalam menjalankan perintah beribadah dari Allah sesungguhnya adalah atas dasar iman -lihat yang kalimat ‘Hai orang-orang yang beriman‘– bukan karena besar dan banyaknya pahala yang disediakan. Sebab, pahala itu rahasia dan hak prerogatif Allah yang tentunya sesuai dengan tingkat kesukaran dan kepayahan ibadah tersebut. Rasulullah saw. bersabda, “Pahala itu ditentukan oleh tingkat kesukaran dan kepayahan seseorang menjalankan ibadah tersebut.”

Dalam konteks ini, hadits yang seharusnya memotivasi orang yang beriman dalam berpuasa yang paling tinggi adalah karena balasan ampunan ‘maghfirah‘ yang disediakan oleh Allah swt. Bukan balasan yang sifatnya rinci seperti yang terjadi pada hadits-hadits lemah atau palsu seputar puasa, karena tidak ada yang lebih tinggi dari ampunan Allah baik dalam konteks shiyam (puasa) maupun qiyam (shalat malam) di bulan Ramadhan. Rasulullah bersabda tentang shiyam, “Barangsiapa yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharapkan ridha Allah, maka sungguh ia telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu”. (Muttafaqun Alaih). Dengan redaksi yang sama, Rasulullah bersabda juga tentang qiyam di bulan Ramadhan, “Barangsiapa yang shalat malam (qiyam) di bulan Ramadhan karena iman dan semata mengharapkan ridha Allah, maka sungguh ia telah diampuni dosa-dosanya yang terdahulu.” (Muttafaqun Alaih). Demikian juga doa yang paling banyak dibaca oleh Rasulullah di bulan puasa adalah “Ya Allah, sesungguhnya Engkau Maha Pemaaf dan mencintai maaf, maka maafkanlah aku.” Ampunan Allahlah yang menjadi kunci dan syarat utama seseorang dimasukkan ke dalam surga.

Yang juga menarik untuk ditadabburi adalah ibadah puasa merupakan ibadah kolektif para umat terdahulu sebelum Islam; ‘sebagaimana telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian‘. Hal ini menunjukkan bahwa secara historis, puasa merupakan sarana peningkatan kualitas iman seseorang di hadapan Allah yang telah berlangsung sekian lama dalam seluruh ajaran agama samawi-Nya. Puasalah yang telah mampu mempertahankan dan bahkan meningkatkan sisi kebaikan umat terdahulu yang kemudian dikekalkan syariat ini bagi umat akhir zaman. Prof. Mutawalli Sya’rawi menyimpulkan bahwa syariat puasa telah lama menjadi ‘rukun ta’abbudi‘ pondasi penghambaan kepada Allah dan merupakan instrumen utama dalam pembinaan umat terdahulu. Dalam bahasa Rasulullah saw. seperti termaktub dalam haditsnya, “Puasa adalah benteng. Apabila salah seorang di antara kamu berpuasa pada hari tersebut, maka janganlah ia berkata kotor atau berbuat jahat. Jika ada seseorang yang mencaci atau mengajaknya berkelahi, maka hendaklah ia mengatakan (dengan sadar): ‘Aku sedang berpuasa’.” (Bukhari Muslim)

Ungkapan ‘agar kalian menjadi orang yang bertakwa‘ pada petikan terakhir ayat pertama dari ayat puasa merupakan harapan sekaligus jaminan Allah bagi ‘orang-orang yang beriman‘ dalam seluruh aspek dan dimensinya secara totalitas. Sebab, mereka akan beralih meningkat menuju level berikutnya, yaitu pribadi yang muttaqin yang tiada balasan lain bagi mereka melainkan surga Allah tanpa ‘syarat‘ karena mereka telah berhasil melalui ujian-ujian perintah dan larangan ketika mereka berada pada level mukmin. Allah swt. berfirman tentang orang-orang yang bertakwa, “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di dalam surga dan kenikmatan.” (Ath-Thur: 17). “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di taman-taman surga dan di mata air-mata air.” (Adz-Dzariyat: 15). “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa akan berada di tempat yang aman, yaitu di dalam taman-taman dan mata air-mata air.” (Ad-Dukhan: 51-52)

Itulah hakikat kewajiban puasa yang tersebut pada ayat pertama dari ayatush shiyam: perintah puasa adalah ditujukan untuk orang yang beriman. Berpuasa hanya akan mampu dijalankan dengan baik dan benar oleh orang-orang yang benar-benar beriman. Motivasi menjalankan amaliah Ramadhan juga karena iman. Orang-orang beriman yang sukses akan diangkat oleh Allah menuju derajat yang paling tinggi di hadapan-Nya, yaitu muttaqin. Semoga kita termasuk yang akan mendapatkan predikat muttaqin setelah sukses menjalankan ibadah Ramadhan dengan penuh iman dan ihtisaban.

Puasa Dan Al-Quran


Oleh: Dr. Attabiq Luthfi, MA

(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. (Al-Baqarah: 185)

Ayat ini adalah ayat ketiga dari rangkaian ayat puasa yang berjumlah 4 ayat dan tersusun secara runtut dalam satu surah, yaitu surah Al-Baqarah ayat 183-187 (dikurangi ayat 186). Ayat ini menjelaskan waktu kewajiban berpuasa yaitu bulan Ramadhan yang belum disebutkan pada dua ayat sebelumnya. Sekaligus ayat ini menghapus keringanan tidak berpuasa bagi orang yang muqim dan sehat yang disebutkan pada ayat sebelumnya. Sehingga siapapun yang hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, kecuali bagi yang sakit atau dalam perjalanan ia diberi keringanan untuk tidak berpuasa, tetapi harus menggantinya pada hari-hari yang lain sebanyak hari yang ditinggalkannya itu. Namun tetap kaidah dasar syariat Islam adalah Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.

Makna yang patut digali dari ayat ini adalah keterkaitan yang erat antara puasa dan Al-Qur’an. Tercatat hanya ayat ini yang menggandingkan puasa dengan turunnya Al-Qur’an; Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). Ibnu Katsir menyebutkan korelasi ini dalam tafsirnya: ”Allah memuji Ramadhan sebagai bulan yang dipilih untuk diturunkan kitab suciNya yang agung. Bahkan seluruh kitab-kitab samawi yang lain juga diturunkan di bulan Ramadhan seperti yang terungkap dalam riwayat imam Ahmad bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. (Musnad Ahmad, 4/107)

Namun menurut Asy-Syaukani, dalam konteks penurunan Al-Qur’an, ayat ini masih bersifat umum karena tidak menjelaskan waktu yang pasti tentang turunnya Al-Qur’an. Surah Al-Qadar ayat 1 dan surah Ad-Dukhan ayat 3 itulah yang menjadi penjelas bagi ayat ini: “Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an pada malam yang penuh dengan keberkahan, yaitu malam Lailatul Qadar”.

Penjelasan inipun sebenarnya masih memerlukan penjelasan lebih rinci, karena kepastian tanggal turunnya Al-Qur’an masih belum disebutkan. Spesifikasi yang disebutkan Al-Qur’an hanya terbatas pada bulan diturunkannya Al-Qur’an yaitu bulan Ramadhan yang dispesifikasi kembali dengan malam Lailatul Qadar. Tapi kapan itu terjadi masih menjadi perdebatan hangat diantara para ulama. Namun mereka sepakat bahwa maksud turunnya Al-Qur’an di bulan Ramadhan adalah turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke Baitul Izzah di langit dunia. Sehingga penurunan Al-Qur’an menurut Imam Suyuthi terjadi dalam dua tahap, yaitu pertama, turunnya Al-Qur’an dari Lauh Mahfudz ke langit dunia secara sekaligus dan kedua, turunnya Al-Qur’an kepada Rasulullah secara berperiodik. Untuk memahami kedua bentuk turunnya Al-Qur’an tersebut, Al-Qur’an menggunakan redaksi yang berbeda. Redaksi Anzala (Inzal) untuk menunjukkan turunnya Al-Qur’an secara sekaligus dari Lauh Mahfudz ke Langit dunia dan redaksi Nazzala (Tanzil) untuk menunjukkan penurunan Al-Qur’an secara berangsur-angsur.

Dalam pembahasan tanggal turunnya Al-Qur’an, terdapat beberapa riwayat yang bisa dijadikan acuan. Riwayat Ibnu Abbas seperti yang dinukil oleh Ibnu katsir menyatakan bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam pertengahan bulan Ramadhan ke Baitul Izzah di Langit dunia kemudian diturunkan secara berangsur-angsur kepada nabi Muhammad dalam kurun waktu 20 tahun. Secara lebih lengkap imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda: “Shahifah Ibrahim diturunkan pada malam pertama bulan Ramadhan, Taurat diturunkan pada hari (malam) keenam bulan Ramadhan, Injil diturunkan pada hari (malam) ketiga belas bulan Ramadhan, Zabur diturunkan pada malam kedelapan belas Ramadhan, sedangkan Al-Qur’an diturunkan pada malam kedua puluh empat bulan Ramadhan”. Dalam riwayat Jabir bin Abdullah dibedakan bahwa Zabur diturunkan pada malam kedua belas. (Musnad Ahmad, 4/107)

Jika riwayat Imam Ahmad dijadikan acuan, maka akan lebih menepati dengan kemungkinan besar terjadinya malam Lailatul Qadar yang banyak disebutkan oleh Rasulullah saw dalam haditsnya. Misalnya: ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. Atau ”Carilah malam Lailatul Qadar itu di tanggal ganjil pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan”. (H.R. Bukhari).

Korelasi kedua yang bisa ditemukan antara Al-Qur’an dan puasa adalah bahwa keduanya merupakan sarana (wasilah) mendapatkan syafaat kubro di hari kiamat nanti. Tersebut dalam hadits Abdullah bin Umar yg diriwayatkan oleh Imam Ahmad (13/375) bahwa Rasulullah saw bersabda: “Puasa dan Al-Qur’an keduanya akan memberi syafaat kepada hamba Allah pada hari kiamat. Puasa berkata: ya Allah, aku menghalanginya dari makan, minum dan syahwat di siang hari, maka berilah syafaat untuknya karena aku. Al-Qur’an pun berkata: ya Rabbi, aku telah telah menahannya dari tidur di malam hari (karena membaca aku), maka berilah ia syafaat karena aku”. Maka akhirnya keduanya menjadi wasilah untuk medapatkan syafaat Allah swt.

Jika korelasi ini difahami dengan baik, maka pemaknaan yang luhur dari bulan Ramadhan adalah Syahrul Qur’an; bulan berinteraksi dan bergaul dengan Al-Qur’an sebaik dan seintens mungkin selain dari makna syahrus shobr (bulan melatih bersabar), syahrul infaq (bulan berinfak), syahrul maghfiroh (bulan ampunan), syahrut tarbiyah (bulan pembinaan), syahrul ibadah (bulan peningkatan ibadah), syahrul jihad (bulan perjuangan) dan lain sebagainya. Namun kenyataannya, makna Ramadhan sebagai syahrul Qur’an masih belum teraplikasikan dengan baik. Padahal pilihan Allah tentang Ramadhan sebagai bulan kewajiban puasa dan bulan penurunan Al-Qur’an tentu tidak lepas dari makna ini. Justru keberkahan Al-Qur’an yang dijanjikan oleh Allah akan lebih terasa di bulan Ramadhan yang penuh berkah ini (syahrun mubarak). “Inilah kitab penuh berkah yang Kami turunkan kepada engkau (Muhammad) agar mereka mentadabburi ayat-ayatnya dan menjadikannya sebagai bahan peringatan bagi orang-orang yang berakal”. (Shad:29)

Saatnya momentum Ramadhan dijadikan momentum untuk memperbaiki dan meningkatkan keberAl-Qur’anan kita. Bukankah ukuran kebaikan seseorang tergantung dengan tingkat interaksinya dengan Al-Qur’an seperti yang dinyatakan dalam hadits Ibnu Mas’ud, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya”. Mempelajari dan mengajarkan disini tidak terbatas dalam konteks bacaan, tetapi lebih dari itu: mempelajari dan mengajarkan nilai dan ajaran Al-Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Bahkan posisi dan kedudukan seseorang di dalam syurga juga terkait erat dengan tingkat keberAl-Qur’anannya. Karena pada hari kiamat nanti setiap orang akan diminta untuk membacakan Al-Qur’an: “Bacalah dan terus tingkatkan seperti kamu membaca di dunia, karena tingkat dan kedudukanmu di syurga ditentukan oleh kualitas dan kuantitas interaksi kamu dengan Al-Qur’an.

Tidak berlebihan untuk kita mulai membangun pribadi qur’ani yang akan berlanjut kepada membangun keluarga qur’ani yang mudah-mudahan dari sini akan lahir masyarakat qur’ani dan jayl qur’an (generasi qur’an) yang mutamayyiz dan farid “unik dan berbeda” karena mereka adalah kekasih Allah dan orang pilihannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya bagi Allah kekasihnya dari manusia. Mereka adalah para pembawa Al-Qur’an. Merekalah kekasih Allah dan orang pilihannNya”. (H.R. Al-Hakim)

KEUTAMAAN MENGHATAM AL-QUR'AN

Oleh: Tim dakwatuna.com


Dari Ibnu Abbas r.a., beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw. “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

Generasi sahabat dapat menjadi generasi terbaik (baca; khairul qurun) adalah karena mereka memiliki ihtimam yang sangat besar terhadap Al-Qur’an. Sayid Qutub dalam bukunya Ma’alim Fii Ath-Thariq menyebutkan tiga faktor yang menjadi rahasia mereka mencapai generasi terbaik seperti itu. Pertama karena mereka menjadikan Al-Qur’an sebagai satu-satunya sumber pegangan hidup, sekaligus membuang jauh-jauh berbagai sumber-sumber kehidupan lainnya. Kedua, ketika membacanya mereka tidak memiliki tujuan-tujuan untuk tsaqafah, pengetahuan, menikmati keindahan ataupun tujuan-tujuan lainnya. Namun tujuan mereka hanya semata-mata untuk mengimplementasikan apa yang diinginkan Allah dalam kehidupan mereka. Ketiga, mereka membuang jauh-jauh segala hal yang berhubungan dengan masa lalu ketika jahiliyah. Mereka memandang bahwa Islam merupakan titik tolak perubahan, yang sama sekali terpisah dengan masa lalu, baik yang bersifat pemikiran ataupun kebudayaan.

Tilawatul qur’an; itulah kunci utama kesuksesan mereka. Imam Syahid Hasan Al-Banna mengatakan, “Usahakan agar Anda memiliki wirid harian yang diambil dari kitabullah minimal satu juz per hari dan berusahalah agar jangan mengkhatamkan Al-Qur’an lebih dari sebulan dan jangan kurang dari tiga hari.”

Keutamaan Membaca al-Qur’an

Dalam kitab Riyadhus Shalihin, Imam Nawawi memaparkan hadits-hadits yang berkenaan dengan keutamaan membaca Al-Qur’an. Di antaranya:

1. Akan menjadi syafaat bagi pembacanya di hari kiamat.

Dari Abu Amamah ra, aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, “Bacalah Al-Qur’an, karena sesungguhnya ia akan menjadi syafaat bagi para pembacanya di hari kiamat.” (HR. Muslim)

2. Mendapatkan predikat insan terbaik.

Dari Usman bin Affan ra, Rasulullah saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Tirmidzi)

3. Mendapatkan pahala akan bersama malaikat di akhirat, bagi yang mahir mambacanya.

Dari Aisyah ra, berkata; bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Orang yang membaca Al-Qur’an dan ia mahir membacanya, maka kelak ia akan bersama para malaikat yang mulia lagi taat kepada Allah.” (HR. Bukhari Muslim)

4. Mendapatkan pahala dua kali lipat, bagi yang belum lancar.

“Dan orang yang membaca Al-Qur’an, sedang ia masih terbata-bata lagi berat dalam membacanya, maka ia akan mendapatkan dua pahala.” (HR. Bukhari Muslim)

5. Akan diangkat derajatnya oleh Allah

Dari Umar bin Khatab ra. Rasulullah saw. bersabda,: “Sesungguhnya Allahswt. akan mengangkat derajat suatu kaum dengan kitab ini (Al-Qur’an), dengan dengannya pula Allah akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Muslim)

6. Mendapatkan sakinah, rahmat, dikelilingi malaikat, dan dipuji Allah di hadapan makhluk-Nya.

Dari Abu Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di salah satu rumah-rumah Allah untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dan mempelajarinya, melainkan akan turun kepada mereka ketengangan, akan dilingkupi pada diri mereka dengan rahmat, akan dilingkari oleh para malaikat, dan Allah pun akan menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di dekat-Nya.” (HR. Muslim)

Keutamaan mengkhatamkan al-Qur’an

a. Merupakan amalan yang paling dicintai Allah

Dari Ibnu Abbas ra, beliau mengatakan ada seseorang yang bertanya kepada Rasulullah saw., “Wahai Rasulullah, amalan apakah yang paling dicintai Allah?” Beliau menjawab, “Al-hal wal murtahal.” Orang ini bertanya lagi, “Apa itu al-hal wal murtahal, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu yang membaca Al-Qur’an dari awal hingga akhir. Setiap kali selesai ia mengulanginya lagi dari awal.” (HR. Tirmidzi)

b. Orang yang mengikuti khataman Al-Qur’an, seperti mengikuti pembagian ghanimah

Dari Abu Qilabah, Rasulullah saw. mengatakan, “Barangsiapa yang menyaksikan (mengikuti) bacaan Al-Qur’an ketika dibuka (dimulai), maka seakan-akan ia mengikuti kemenangan (futuh) fi sabilillah. Dan barangsiapa yang mengikuti pengkhataman Al-Qur’an maka seakan-akan ia mengikuti pembagian ghanimah.” (HR. Addarimi)

c. Mendapatkan doa/shalawat dari malaikat

Dari Mus’ab bin Sa’d, dari Sa’d bin Abi Waqas, beliau mengatakan, “Apabila Al-Qur’an dikhatamkan bertepatan pada permulaan malam, maka malaikat akan bersalawat (berdoa) untuknya hingga subuh. Dan apabila khatam bertepatan pada akhir malam, maka malaikat akan bershalawat/ berdoa untuknya hingga sore hati.” (HR. Addarimi.)

d. Mengikuti sunnah Rasulullah saw.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sunnah Rasulullah saw. Hal ini tergambar dari hadits berikut: Dari Abdullah bin Amru bin Ash, beliau berkata, “Wahai Rasulullah saw., berapa lama aku sebaiknya membaca Al-Qur’an?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam satu bulan.” Aku berkata lagi, “Sungguh aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam dua puluh hari.” Aku berkata lagi, “Aku masih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima belas hari.” “Aku masih lebih mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam sepuluh hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, “Khatamkanlah dalam lima hari.” Aku menjawab, “Aku masih lebih mampu lagi, wahai Rasulullah.” Namun beliau tidak memberikan izin bagiku. (HR. Tirmidzi)

Waktu mengkhatamkan Al-Qur’an

a. Keutamaan waktu yang dibutuhkan untuk mengkhatamkan Al-Qur’an

Dari Abdullah bin Amru bin Ash, dari Rasulullah saw., beliau berkata, “Puasalah tiga hari dalam satu bulan.” Aku berkata, “Aku mampu untuk lebih banyak dari itu, wahai Rasulullah.” Namun beliau tetap melarang, hingga akhirnya beliau mengatakan, “Puasalah sehari dan berbukalah sehari, dan bacalah Al-Qur’an (khatamkanlah) dalam sebulan.” Aku berkata, “Aku mampu lebih dari itu, wahai Rasulullah?” Beliau terus malarang hingga batas tiga hari. (HR. Bukhari)

Hadits ini menunjukkan batasan waktu paling minimal dalam membaca Al-Qur’an. Karena dalam hadits lain terkadang beliau membatasi hanya boleh dalam 5 hari, dan dalam hadits yang lain dalam tujuh hari. Maka dari sini dapat disimpulkan, batasan paling cepat dalam mengkhatamkan Al-qur’an adalah tiga hari.

b. Larangan untuk mengkhatamkan kurang dari tiga hari

Hadits di atas juga mengisyaratkan larangan Rasulullah saw. untuk mengkhatamkan Al-Qur’an kurang dari tiga hari. Hikmah di balik larangan tersebut, Rasulullah saw. katakan dalam hadits lain sebagai berikut:

Dari Abdullah bin Amru, beliau mengatakan bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak akan dapat memahami/menghayati Al-Qur’an, orang yang membacanya kurang dari tiga hari.” (HR. Abu Daud)

c. Rasulullah saw. tidak pernah mengkhatamkan Al-Qur’an dalam satu malam

Dari Aisyah ra, beliau mengatakan, “Aku tidak pernah tahu Rasulullah saw. mengkhatamkan Al-Qur’an secara keseluruhan pada malam hingga fajar.” (HR. Ibnu Majah)

Sunnah dalam teknis mengkhatamkan Al-Qur’an

Adalah Anas bin Malik, beliau memiliki kebiasaan apabila telah mendekati kekhataman dalam membaca Al-Qur’an, beliau menyisakan beberapa ayat untuk mengajak keluarganya guna mengkhatamkan bersama.

Dari Tsabit al-Bunnani, beliau mengatakan bahwa Anas bin Malik jika sudah mendekati dalam mengkhatamkan Al-Qur’an pada malam hari, beliau menyisakan sedikit dari Al-Qur’an, hingga ketika subuh hari beliau mengumpulkan keluarganya dan mengkhatamkannya bersama mereka. (HR. Darimi)

Hikmah yang dapat dipetik dari hadits Anas di atas, adalah bahwa ketika khatam Al-Qur’an merupakan waktu yang mustajab untuk berdoa kepada Allah. Dengan mengumpulkan seluruh anggota keluarga, akan dapat memberikan berkah kepada seluruh anggota keluarga. Karena, semuanya berdoa secara bersamaan kepada Allah mengharapkan rahmat dan berkah dari-Nya.

Kiat-Kiat Agar Senantiasa Dapat Mengkhatamkan Al-Qur’an

Ada beberapa kiat yang barangkali dapat membantu dalam mengkhatamkan Al-Qur’an, di antaranya adalah:

1. Memiliki ‘azam’ yang kuat untuk dapat mengkhatamkannya dalam satu bulan. Atau dengan kata lain memiliki azam untuk membacanya satu juz dalam satu hari.

2. Melatih diri dengan bertahap untuk dapat tilawah satu juz dalam satu hari. Misalnya untuk sekali membaca (tanpa berhenti) ditargetkan setengah juz, baik pada waktu pagi ataupun petang hari. Jika sudah dapat memenuhi target, diupayakan ditingkatkan lagi menjadi satu juz untuk sekali membaca.

3. Mengkhususkan waktu tertentu untuk membaca Al-Qur’an yang tidak dapat diganggu gugat, kecuali jika terdapat sebuah urusan yang teramat sangat penting. Hal ini dapat membantu kita untuk senantiasa komitmen membacanya setiap hari. Waktu yang terbaik menurut penulis adalah ba’da subuh.

4. Menikmati bacaan yang sedang dilantunkan oleh lisan kita. Lebih baik lagi jika kita memiliki lagu tersendiri yang stabil, yang meringankan lisan kita untuk melantunkannya. Kondisi seperti ini membantu menghilangkan kejenuhan ketika membacanya.

5. Usahakan untuk senantiasa membersihkan diri (baca: berwudhu’) terlebih dahulu sebelum kita membaca Al-Qur’an. Karena kondisi berwudhu’, sedikit banyak akan membantu menenangkan hati yang tentunya membantu dalam keistiqamahan membaca Al-Qur’an.

6. Membaca-baca kembali mengenai interaksi generasi awal umat Islam, dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dari segi tilawah, pemahaman ataupun pengaplikasiannya.

7. Memberikan iqab atau hukuman secara pribadi, jika tidak dapat memenuhi target membaca Al-Qur’an. Misalnya dengan kewajiban infaq, menghafal surat tertentu, dan lain sebagainya, yang disesuaikan dengan kondisi pribadi kita.

8. Diberikan motivasi dalam lingkungan keluarga jika ada salah seorang anggota keluarganya yang mengkhatamkan al-Qur’an, dengan bertasyakuran atau dengan memberikan ucapan selamat dan hadiah.

Mengkhatamkan Al-Qur’an merupakan sifat Rasulullah, para sahabat, salafuna shaleh, dan orang-orang mukmin yang memiliki ketakwaan kepada Allah. Seyogyanya, kita juga dapat memposisikan Al-Qur’an sebagaimana mereka memiliki semangat, meskipun kita jauh dari mereka.

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan Kepada mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.” (An-Ankabut: 69).