29 April 2009

AGAR PUTUR TIDAK MENGHANTUI

Oleh: Tim dakwatuna.com

dakwatuna.com - “Dan berapa banyak Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Saudaraku…

Pengikut yang bertaqwa adalah mereka yang tidak menjadi lemah karena bencana, ujian, ketidakberuntungan yang menimpa mereka di jalan Allah, tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh Allah dan Allah menyukai orang-orang yang bersabar.

Ada fenomena kelesuan atau futur dalam dimensi aqidah dan umumnya terjadi karena pergeseran orientasi hidup, lebih berorientasi pada materi duniawi an sich. Dan ada juga dalam dimensi ibadah dengan lemahnya disiplin -indhibath- terhadap amaliyah ubudiyah yaumiyah (harian). Adapun dalam dimensi fikriyah terlihat dengan lemahnya semangat meningkatkan ilmu. Di sisi lain pergeseran adab islami menyelimuti akhlaq mereka, belum lagi rasa jenuh dalam mengikuti aktivitas tarbawiyah atau pembinaan keislaman dan hubungan yang terlalu longgar antar lawan jenis.

Dalam hidup akan banyak ditemui bermacam jalan. Kadang datar, kadang menurun, kadang pula meninggi. Begitu pula dalam perjalanan dakwah. Ada saatnya para muharrik (orang yang bergerak) menemui jalan yang lurus dan mudah. Namun tidak jarang menjumpai onak dan duri. Hal demikian juga terjadi pada muharrik. Suatu saat ia memiliki kondisi iman yang tinggi. Di saat lain, iapun dapat mengalami degradasi iman. Tabiat manusia memang menggariskan demikian.

Dalam kondisi iman yang turun ini, para muharrik kadang terkena satu penyakit yang membahayakan kelangsungan gerang langkah dakwah. Yaitu penyakit futur atau kelesuan.

Saudaraku…

Futur berarti putusnya kegiatan setelah kontinyu bergerak atau diam setelah bergerak, atau malas, lamban dan santai setelah sungguh-sungguh.

Terjadinya futur bagi muharrik, sebenarnya merupakan hal yang wajar. Asal saja tidak mengakibatkan terlepasnya muharrik dari roda dakwah. Hanya malaikat yang mampu kontinyu mengabdi kepada Allah dengan kualitas terbaik.

Firman Allah, “dan kepunyaan-Nyalah segala apa yang di langit dan di bumi dan malaikat-malaikat yang di sisi-Nya, mereka tiada mempunyai rasa angkuh untuk menyembah-Nya dan tidak pula merasa letih. Mereka selalu bertasbih malam dan siang tiada hentinya.” (Al-Anbiya: 19-20)

Karena itu Rasulallah sering berdoa:

Artinya: “Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik umurku akhirnya. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik amalku keridhaan-Mu. Ya Allah, jadikanlah sebaik-baik hariku saat bertemu dengan-Mu.”

Penyebab Futur

Walaupun futur merupakan hal yang mungkin terjadi bagi muharrik, ada beberapa penyebab yang dapat menyegerakan timbulnya:

Pertama, berlebihan dalam din (Bersikap keras dan berlebihan dalam beragama)

Berlebihan pada suatu jenis amal akan berdampak kepada terabaikannya kewajiban-kewajiban lainnya. Dan sikap yang dituntut pada kita dalam beramal adalah washathiyyah atau sedang dan tengah-tengah agar tidak terperangkap dalam ifrath dan tafrith (mengabaikan kewajiban yang lain).

Dalam hadits yang lain Rasul bersabda:

“Sesungguhnya Din itu mudah, dan tidaklah seseorang mempersulitnya kecuali akan dikalahkan atau menjadi berat mengamalkannya.” (H.R. Muslim)

Karena itu, amal yang paling di sukai Allah swt. adalah yang sedikit dan kontinyu.

Kedua, berlebih-lebihan dalam hal yang mubah. (Berlebihan dan melampaui batas dalam mengkonsumsi hal-hal yang diperbolehkan)

Mubah adalah sesuatu yang dibolehkan. Namun para sahabat sangat menjaganya. Mereka lebih memilih untuk menjauhkan diri dari hal yang mubah karena takut terjatuh pada yang haram. Berlebihan dalam makanan menyebabkan seseorang menjadi gemuk. Kegemukan akan memberatkan badan. Sehingga orang menjadi malas. Malas membuat seseorang menjadi santai. Dan santai mengakibatkan kemunduran. Karena itu secara keseluruhan hal ini bisa menghalangi dalam amal dakwah.

Ketiga, memisahkan diri dari kebersamaan atau jamaah (Mengedepankan hidup menyendiri dan berlepas dari organisasi atau berjamaah)

Jauhnya seseorang dari berjamaah membuatnya mudah didekati syaitan. Rasul bersabda: “Setan itu akan menerkam manusia yang menyendiri, seperti serigala menerkam domba yang terpisah dari kawanannya.” (H.R. Ahmad)

Jika setan telah memasuki hatinya, maka tak sungkan hatinya akan melahirkan zhan (prasangka) yang tidak pada tempatnya kepada organisasi atau jamaah. Jika berlanjut, hal ini menyebabkan hilangnya sikap tsiqah (kepercayaan) kepada organisasi atau jamaah.

Dengan berjamaah, seseorang akan selalu mendapatkan adanya kegiatan yang selalu baru. Ini terjadi karena jamaah merupakan kumpulan pribadi, yang masing-masing memiliki gagasan dan ide baru. Sedang tanpa jamaah seseorang dapat terperosok kepada kebosanan yang terjadi akibat kerutinan. Karena itu imam Ali berkata: “Sekeruh-keruh hidup berjamaah, lebih baik dari bergemingnya hidup sendiri.”

Keempat, sedikit mengingat akhirat (Lemah dalam mengingat kematian dan kehidupan akhirat)

Saudaraku…

Banyak mengingat kehidupan akhirat membuat seseorang giat beramal. Selalu diingat akan adanya hisab atas setiap amalnya. Kebalikannya, sedikit mengingat kehidupan akhirat menyulitkan seseorang untuk giat beramal. Ini disebabkan tidak adanya pemacu amal berupa keinginan untuk mendapatkan ganjaran di sisi Allah pada hari yaumul hisab nanti. Karena itu Rasulullah bersabda: “Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

Kelima, melalaikan amalan siang dan malam (Tidak memiliki komitmen yang baik dalam mengamalkan aktivitas ’ubudiyah harian)

Pelaksanaan ibadah secara tekun, membuat seseorang selalu ada dalam perlindungan Allah. Selalu terjaga komunikasi sambung rasa antara ia dengan Allah swt. Ini membuatnya mempersiapkan kondisi ruhiyah atau spiritual yang baik sebagai dasar untuk bergerak dakwah. Namun sebaliknya, kelalaian untuk melaksanakan amalan, berupa rangkaian ibadah baik yang wajib maupun sunnah, dapat membuat seseorang terjerumus untuk sedikit demi sedikit merenggangkan hubungannya dengan Allah. jika ini terjadi, maka sulit baginya menjaga kondisi ruhiyah dalam keadaan taat kepada Allah. kadang hal ini juga berkaitan dengan kemampuan untuk berbicara kepada hati. Dakwah yang benar, selalu memulainya dengan memanggil hati manusia, sementara sedikitnya pelaksanaan ibadah membuatnya sedikit memiliki cahaya.

Allah berfirman: “Barang siapa tidak diberi cahaya (petunjuk) oleh Allah, tiadalah ia mempunyai cahaya sedikit pun.” (An-Nur: 40)

Keenam, masuknya barang haram ke dalam perut (Mengkonsumsi sesuatu yang syubhat, apalagi haram)

Ketujuh, tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan. (Tidak mempersiapkan diri untuk menghadapi berbagai rintangan dan tantangan dakwah)

Setiap perjuangan selalu menghadapi tantangan. Haq dan bathil selalu berusaha untuk memperbesar pengaruhnya masing-masing. Akan selalu ada orang-orang Pendukung Islam. Di lain pihak akan selalu tumbuh orang-orang pendukung hawa nafsu. Dan dalam waktu yang Allah kehendaki akan bertemu dalam suatu “fitnah”. Dalam bahasa Arab, kata “fitnah” berasal dari kata yang digunakan untuk menggambarkan proses penyaringan emas dari batu-batu lainnya. Karena itu “fitnah” merupakan sunnatullah yang akan mengenai para pelaku dakwah. Dengan “fitnah” Allah juga menyaring siapa hamba yang masuk golongan shadiqin dan siapa yang kadzib (dusta). Dan jika fitnah itu datang, sementara ia tidak siap menerimanya, besar kemungkinan akan terjadi pengubahan orientasi dalam perjuangannya. Dan itu membuat futur. Allah Berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya di antara istri-istrimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu. Maka hati-hatilah kamu terhadap mereka.” (Al-Ahqaf: 14)

Kedelapan, bersahabat dengan orang-orang yang lemah (Berteman dengan orang-orang yang buruk dan bersemangat rendah)

Kondisi lingkungan (biah) dapat menentukan kualitas seseorang. Teman yang baik akan melahirkan lingkungan yang baik. Akan tumbuh suasana ta’awun atau tolong-menolong dan saling menasihatkan. Sementara teman yang buruk dapat melunturkan hamasah (kemauan) yang semula telah menjadi tekad. Karena itu Rasulullah bersabda:

“Seseorang atas diri sahabatnya, hendaklah melihat salah seorang di antara kalian siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)

Kesembilan, spontanitas dalam beramal (Tidak ada perencanaan yang baik dalam beramal, baik dalam skala individu atau fardi maupun komunitas atau jama’i)

Amal yang tidak terencana, yang tidak memiliki tujuan sasaran dan sarana yang jelas, tidak dapat melahirkan hasil yang diharapkan. Hanya akan timbul kepenatan dalam berdakwah, sementara hasil yang ditunggu tak kunjung datang. Karena itu setiap amal harus memiliki minhajiatul amal (sistematika kerja). Hal ini akan membuat ringan dan mudahnya suatu amal.

Kesepuluh, jatuh dalam kemaksiatan (Meremehkan dosa dan maksiat)

Perbuatan maksiat membuat hati tertutup dengan kefasikan. Jika kondisi ini terjadi, sulit diharapkan seorang juru dakwah mampu beramal untuk jamaahnya. Bahkan untuk menjaga diri sendiri pun sulit.

Cara Mengobati Kelesuan

Saudaraku…

Untuk mengobati penyakit futur ini, beberapa ulama memberikan beberapa resep.

Pertama, jauhi kemaksiatan

Kemaksiatan akan mendatangkan kemungkaran Allah. Dan pada akhirnya membawa kepada kesesatan. Allah berfirman:

“Dan janganlah kamu melampaui batas yang menyebabkan kemurkaan-Ku menimpamu. Dan barang siapa ditimpa musibah oleh kemurkaan-Ku, maka binasalah ia.” (Thaha: 81)

Jauh dari kemaksiatan akan mendatangkan hidup yang akan lebih berkah. Dengan keberkahan ini orang dapat terhindar dari penyakit futur. Allah berfirman:

“Jikalau penduduk negeri-negeri beriman dan bertaqwa, pastilah kami melimpahkan kepada mereka keberkahan dari langit dan dari bumi.” (Al-A’raf: 96)

Kedua, tekun mengamalkan amalan siang dan malam

Amalan siang dan malam dapat melindungi dan menjaga pelaku dakwah untuk selalu berhubungan dengan Allah swt. Hal ini dapat menjauhkannya dari perbuatan yang tidak mendapat restu dari Allah.

Allah berfirman:

“Dan hamba-hamba yang baik dari Rabb Yang Maha Penyayang itu, ialah orang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata yang (mengandung) keselamatan. Dan orang-orang yang melalui malam harinya dengan bersujud dan berdiri untuk Rabb mereka.” (Al-Furqan: 63-64)

Ketiga, mengintai waktu-waktu yang baik

Dalam banyak hadits Rasulullah saw. banyak menginformasikan adanya waktu-waktu tertentu dimana Allah swt. lebih memperhatikan doa hamba-Nya. Sepertiga malam terakhir, hari Jum’at, antara dua khutbah, ba’da Ashar hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Zulqaedah, Zulhijjah, Muharram, rajab dll. Waktu-waktu itu memiliki keistimewaan yang dapat mengangkat derajat seseorang di hadapan Allah.

Keempat, menjauhi hal-hal yang berlebihan.

Berlebihan dalam kebaikan bukan merupakan tindakan bijaksana. Apalagi berlebihan dalam keburukan. Allah memerintah manusia sesuai dengan kemampuannya.

Firman Allah:

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah sesuai dengan kesanggupanmu!” (At-Taghabun: 6)

Islam adalah Din tawazun (keseimbangan). Disuruhnya pemeluknya memperhatikan akhirat, namun jangan melupakan kehidupan dunia. Seluruh anggota tubuh dan jiwa mempunyai haknya masing-masing yang harus ditunaikan. Dalam ayat lain Allah berfirman:

“Demikianlah kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan (adil) dan pilihan. (Al-Baqarah: 143)

Kelima, melazimi Jamaah

“Berjamaah itu rahmat, Firqah (perpecahan) itu azab.” demikian sabda Rasulullah. Dalam hadits yang lain beliau bersabda: “Barangsiapa yang menghendaki tengahnya surga, hendaklah ia melazimi jamaah.”

Dengan jamaah seorang muharrik akan selalu berada dalam majelis dzikir dan pikir. Hal ini membuatnya selalu terikat dengan komitmennya semula. Juga jamaah dapat memberikan program dan kegiatan yang variatif. Sehingga terhindarlah ia dari kebosanan dan rutinitas.

Keenam, mengenal kendala yang akan menghadang

Saudaraku…

Pengetahuan pelaku dakwah dan pejuang akan tabiat jalan yang hendak dilalui serta rambu-rambu yang ada, akan membuatnya siap, minimal tidak gentar, untuk menjalani rintangan yang akan datang. Allah berfirman:

“Dan beberapa banyak Nabi yang berperang bersama mereka sebagian besar karena bencana yang menimpa di jalan Allah, dan tidak pula lesu dan tidak pula menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (Ali Imran: 146)

Ketujuh, teliti dan sistemik dalam kerja.

Dengan perencanaan yang baik, Pembagian tugas yang jelas, serta kesadaran akan tanggung jawab yang diemban, dapat membuat harakah menjadi harakatul muntijah (harakah yang berhasil). Perencanaan akan menyadarkan pejuang, bahwa jalan yang ditempuh amat panjang. Tujuan yang akan dicapai amat besar. Karena itu juga dibutuhkan waktu, amal dan percobaan yang besar. Jika ini semua telah dimengerti, insya Allah akan tercapai sasaran-sasaran yang telah ditentukan.

Kedelapan, memilih teman yang shalih

Rasulullah bersabda:

“Seseorang tergantung pada sahabatnya, maka hendaklah ia melihat dengan siapa ia berteman.” (H.R. Abu Daud)

Kesembilan, menghibur diri dengan hal yang mubah

Bercengkerama dengan keluarga, mengambil secukupnya kegiatan rekreatif serta memberikan hak badan secara cukup mampu membuat diri menjadi segar kembali untuk melanjutkan amal yang sedang dikerjakan.

Kesepuluh, mengingat mati, surga dan neraka

Rasulullah bersabda: “Jika sekiranya engkau mengetahui apa yang aku ketahui, niscaya engkau akan banyak menangis dan sedikit tertawa.”

Saudaraku…

Ketahuilah, bahwa futur menyebabkan jalan dakwah yang harus di tempuh menjadi lebih panjang, sebab tidak mendapatkan ma’iyatullah (kebersamaan dan pembelaan Allah) dan daya intilaq (lompatan) kita menjadi lebih berat, baik karena borosnya biaya dan rontoknya para pejuang dan penyeru dakwah. Mudah-mudahan Allah selalu menjaga kita, Amin. Wallahu a’lam bis shawab

Tawakal Adalah Sarana Terbesar Untuk Mendapatkan Kebaikan Dan Menghindari Kerusakan

Dr. Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji


Tawakal adalah salah satu sarana terkuat di antara sarana-sarana yang bisa mendatangkan kebaikan serta menghindari kerusakan, berlawanan dengan pendapat yang mengatakan: bahwa tawakal hanyalah sekedar ibadah yang mendatangkan pahala bagi seorang hamba yang melakukannya, seperti orang yang melempar jumrah (ketika haji), juga berlawanan dengan orang yang berpendapat tawakal berarti men-tiada-kan prinsip sebab musabab dalam penciptaan serta urusan, sebagaimana pendapat yang dilontarkan oleh golongan "Mutakallimin" seperti Al-Asy-ari dan lainnya, dan juga seperti pendapat yang dilontarkan oleh para ahli Fiqh dan golongan shufi, (Risalah Fi Tahqiqi At-Tawakkul karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah hal. 87), hal ini akan diterangkan dalam bahasan mengenai prinsip sebab-musabab, Insya Allah.

Ibnul Qayyim berkata : Tawakal adalah sebab yang paling utama yang bisa mempertahankan seorang hamba ketika ia tak memiliki kekuatan dari serangan makhluk Allah lainnya yang menindas serta memusuhinya, tawakal adalah sarana yang paling ampuh untuk menghadapi keadaan seperti itu, karena ia telah menjadikan Allah pelindungnya atau yang memberinya kecukupan, maka barang siapa yang menjadikan Allah pelindungnya serta yang memberinya kecukupan maka musuhnya itu tak akan bisa mendatangkan bahaya padanya. (Bada'i Al-Fawa'id 2/268)

Bukti yang paling baik adalah kejadian nyata, telah diriwayatkan oleh Al-Bukhari yang disanadkan kepada Ibnu Abbas : Hasbunallahu wa nima Al-Wakiil, yang artinya : (Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung), ungkapan ini diucapkan oleh Nabi Ibrahim saat tubuhnya dilemparkan ke tengah-tengah Api yang membara, juga diungkapkan oleh Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika dikatakan kepadanya : Sesungguhnya orang-orang musyrik telah berencana untuk membunuh mu, maka waspadalah engkau terhadap mereka. (Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam bab Tafsir 4563 (Fathul Bari 8/77))

Ibnu Abbas berkata : Kata-kata terakhir yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim ketika ia dilemparkan ke tengah bara api adalah : "Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah sebaik-baik pelindung". (Hadits Riwayat Al-Bukhari bab Tafsir 4564 8/77)

Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi yang disanadkan kepada Bastar bin Al-Harits, ia berkata : Ketika Nabi Ibrahim digotong untuk dilemparkan ke dalam api, Jibril memperlihatkan diri padanya dan berkata : Wahai Ibrahim, apakah kamu perlu bantuan ?, Ibrahim menjawab : Jika kepada engkau, maka saya tidak perlu bantuan, (Diriwayatkan oleh Ibni Jarir dalam Tafsirnya 17/45, Al-Baghwi dalam tafsirnya 4/243), ini adalah bagian dari kesempurnaan tawakal yang hanya kepada Allah semata tanpa lainnya.

Akan tetapi apa yang terjadi setelah itu ?!, Allah berfirman : "Kami berfirman : 'Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim', mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka orang-orang yang paling merugi". (Al-Anbiya : 69-70)

Dan befirman pula Allah tentang Nabi Muhammad dan para sahabatnya : "Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridhaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar". (Ali Imran : 174). Ibnu Katsir berkata : Setelah mereka bertawakal kepada Allah maka Allah melindungi mereka dari bahaya yang mengancam mereka, dan Allah mencegah dari mereka bencana yang telah direncanakan oleh orang-orang kafir, lalu mereka kembali ke negeri mereka sesuai dengan firman-Nya, Dengan ni'mat dan karunia (yang besar dari Allah, mereka tidak dapat bencana apa-apa) dari sesuatu yang tersembunyi dalam hati musuh-musuh mereka dan (mereka mengikuti keridla'an Allah) dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Tafsir Qur'anul Adzhim 2/148)

Dan firman Allah tentang orang-orang beriman: "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu, di waktu suatu kaum bermaksud hendak menggerakkan tangannya kepadamu (untuk berbuat jahat), maka Allah menahan tangan mereka dari kamu, Dan bertakwalah kepada Allah, dan hanya kepada Allah sajalah orang-orang mukmin itu harus bertawakkal". (Al-Maidah : 11)

Kandungan dari ayat ini adalah bahwa sikap tawakal kepada Allah yang ada dalam hati orang-orang yang beriman adalah salah satu sebab Allah menahan tangan orang-orang kafir yang hendak mencelakakan orang-orang yang beriman, Allah menggagalkan apa yang diingini oleh orang-orang kafir terhadap orang-orang beriman.

Berita yang menerangkan tentang sebab turunnya ayat ini ada tiga berita, semuanya membuktikan bahwa hanya Allahlah yang menjadi pelindung bagi Nabi-Nya dan Allah pula yang menjaganya dari kejahatan manusia, ketiga berita itu adalah:

  1. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan lainnya dari Jabir bahwa Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam terpisah dari para sahabatnya lalu bernaung di bawah pohon (Disebutkan bahwa pohon itu adalah pohon yang berduri, An-Nihayah 3/255) beliau menggantungkan pedangnya di atas pohon itu, kemudian datang seorang Arab Badui (Diriwayatkan bahwa nama orang itu adalah Ghurata bin Al-Harits, lihat Shahihul Bukhari dalam kitab Al-Maghazy 4136 V/491 dan lihat pula Tafsir Ibnu Katsir 3/59) kepada Rasulullah dan mengambil pedang milik beliau, lalu orang itu berdiri di hadapan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, sambil bertanya: Siapakah yang dapat mencegahmu dari aku .?. Beliau menjawab: Allah !, orang Arab Badui itu bertanya dua atau tiga kali: Siapa yang dapat mencegahmu dari aku ?, dan Nabi menjawab: Allah, Jabir berkata: Kemudian orang Arab itu menyarungi pedangnya, lalu Nabi memanggil para sahabatnya, dan mengabarkan kepada mereka tentang kejadian Arab Badui itu, sementara Arab Badui itu duduk di sisi Rasulullah dengan tidak memberi hukuman kepada orang itu. (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/311, Bukhari bab Jihad 2910 6/113, diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya 6/146)
  2. Berita yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir Ath-Thabari dan lainnya dari Ibnu Abbas -tentang ayat ini ia menyebut ayat 11 dari surat Al-Ma'idah- dan ia berkata : Sesungguhnya orang-orang dari kaum Yahudi membuat makanan untuk membunuh Rasulullah dan para sahabatnya, kemudian Allah mewahyukan kepada utusan-Nya itu tentang rencana mereka, maka Rasulullah dan para sahabatnya tidak makan makanan itu. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam tafsirnya 6/46 dan Ibnu Abu Hatim sebagaimana disebutkan dalam Tafsir Ibnu Katsir 3/59)
  3. Dikisahkan bahwa orang-orang dari Kaum Yahudi bersepakat untuk membunuh Nabi dengan cara mengundang Nabi dalam suatu urusan, ketika Nabi datang kepada mereka, mereka membuat siasat untuk melempar beliau dengan sebuah batu besar pada saat Rasulullah bernegosiasi dengan orang-orang Yahudi, lalu Allah memberitahukan rencana mereka ini kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Rasulullah kembali ke Madinah dengan para sahabatnya. (Diriwayatkan oleh Ath-Thabari dalam Tafsirnya 6/144) maka pada saat itulah Allah menurunkan ayat yang berbunyi: "Hai orang-orang yang beriman, ingatlah kamu akan nikmat Allah (yang diberikan-Nya) kepadamu". (Al-Maidah : 11)

Dari berita-berita yang menyebabkan turunnya ayat di atas, serta kejadian-kejadian lain yang nyata membuktikan bahwa Allah akan selalu menjaga dan melindungi Nabi utusan-Nya, hal ini tidak lain adalah karena kesempurnaan beliau dalam bertawakal kepada Allah Azza wa Jalla. Berita dan kejadian seperti ini banyak sekali dan cukup bagi kami dengan apa yang telah kami sebutkan.

Disalin dari buku At-Tawakkul 'Alallah wa 'Alaqatuhu bil Asbab oleh Dr Abdullah bin Umar Ad-Dumaiji dengan edisi Indonesia Rahasia Tawakal & Sebab Akibat hal. 89 - 92 Bab Buah Tawakal, terbitan Pustaka Azzam, Penerjemah Drs. Kamaluddin Sa'diatulharamaini dan Farizal Tirmidzi.

SIKAP MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR

Sesungguhnya nikmat terbesar yang diberikan oleh Allah Subhannahu wa Ta'ala kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan iman serta istiqomah di atas jalan yang lurus. Allah Subhannahu wa Ta'ala telah memberitahukan bahwa yang dimaksud jalan yang lurus adalah jalan yang ditempuh oleh hamba-hamba-Nya yang telah diberi nikmat dari kalangan para nabi, shiddiqin, syuhadaa dan sholihin (Qs. An Nisaa :69).

Jika diperhatikan dengan teliti, maka kita dapati bahwa musuh-musuh Islam sangat gigih berusaha mema-damkan cahaya Islam, menjauhkan dan menyimpangkan ummat Islam dari jalan yang lurus, sehingga tidak lagi istiqomah.Hal ini diberitahukan sendiri oleh Allah Ta'ala di dalam firman-Nya, diantaranya, yang artinya: "Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesung-guh-Nya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. 2:109)

Firman Allah Subhannahu wa Ta'ala yang lain, artinya: Katakanlah: "Hai Ahli Kitab, mengapa kamu menghalang-halangi dari jalan Allah orang-orang yang telah beriman, kamu menghendakinya menjadi beng-kok, padahal kamu menyaksikan". Allah sekali-kali tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS. 3:99)

Artinya : " Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menta'ati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu kebelakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi". (QS. 3:149)

Salah satu cara mereka untuk menjauhkan umat Islam dari agama (jalan yang lurus)yakni dengan menyeru dan mempublikasikan hari-hari besar mereka ke seluruh lapisan masyara-kat serta dibuat kesan seolah-oleh hal itu merupakan hari besar yang sifatnya umum dan bisa diperingati oleh siapa saja. Oleh karena itu, Komisi Tetap Urusan Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi telah memberikan fatwa berkenaan dengan sikap yang seharusnya dipegang oleh setiap muslim terhadap hari-hari besar orang kafir.Secara garis besar fatwa yang dimaksud adalah:

  1. Sesungguhnya kaum Yahudi dan Nashara menghubungkan hari-hari besar mereka dengan peristiwa-peritiwa yang terjadi dan menjadikannya sebagai harapan baru yang dapat memberikan keselamatan, dan ini sangat tampak di dalam perayaan milenium baru (tahun 2000 lalu), dan sebagian besar orang sangat sibuk memperangatinya, tak terkecuali sebagian saudara kita -kaum muslimin- yang terjebak di dalamnya. Padahal setiap muslim seharusnya menjauhi hari besar mereka dan tak perlu menghiraukannya.


  1. Perayaan yang mereka adakan tidak lain adalah kebatilan semata yang dikemas sedemikian rupa, sehingga kelihatan menarik. Di dalamnya berisikan pesan ajakan kepada kekufuran, kesesatan dan kemungkaran secara syar'i seperti: Seruan ke arah persatuan agama dan persamaan antara Islam dengan agama lain. Juga tak dapat dihindari adanya simbul-simbul keagamaan mereka, baik berupa benda, ucapan ataupun perbuatan yang tujuannya bisa jadi untuk menampakkan syiar dan syariat Yahudi atau Nasrani yang telah terhapus dengan datangnya Islam atau kalau tidak agar orang menganggap baik terhadap syariat mereka, sehingga biasnya menyeret kepada kekufuran. Ini merupakan salah satu cara dan siasat untuk menjauhkan umat Islam dari tuntunan agamanya, sehingga akhirnya merasa asing dengan agamanya sendiri.

  1. Telah jelas sekali dalil-dalil dari Al Quran, Sunnah dan atsar yang shahih tentang larangan meniru sikap dan perilaku orang kafir yang jelas-jelas itu merupakan ciri khas dan kekhususan dari agama mereka, termasuk di dalam hal ini adalah Ied atau hari besar mereka.Ied di sini mencakup segala sesuatu baik hari atau tempat yang diagung-agungkan secara rutin oleh orang kafir, tempat di situ mereka berkumpul untuk mengadakan acara keagamaan, termasuk juga di dalam hal ini adalah amalan-amalan yang mereka lakukan. Keseluruhan waktu dan tempat yang diagungkan oleh orang kafir yang tidak ada tuntunannya di dalam Islam, maka haram bagi setiap muslim untuk ikut mengagungkannya.


  1. Larangan untuk meniru dan memeriahkan hari besar orang kafir selain karena adanya dalil yang jelas juga dikarenakan akan memberi dampak negatif, antara lain:
    • Orang-orang kafir itu akan merasa senang dan lega dikarenakan sikap mendukung umat Islam atas kebatilan yang mereka lakukan.
    • Dukungan dan peran serta secara lahir akan membawa pengaruh ke dalam batin yakni akan merusak akidah yang bersangkutan secara bertahap tanpa terasa.
    • Yang paling berbahaya ialah sikap mendukung dan ikut-ikutan terhadap hari raya mereka akan menumbuhkan rasa cinta dan ikatan batin terhadap orang kafir yang bisa menghapuskan keimanan.Ini sebagaimana yang difirmankan Allah Ta'ala, artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya o-rang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim". (QS. 5:51)


  1. Dari uraian di atas, maka tidak diperbolehkan bagi setiap muslim yang mengakui Allah sebagai Rabb, Islam sebagai agama dan Muhammad sebagai nabi dan rasul, untuk ikut merayakan hari besar yang tidak ada asalnya di dalam Islam, tidak boleh menghadiri, bergabung dan membantu terselenggaranya acara tersebut.Karena hal ini termasuk dosa dan melanggar batasan Allah.Dia telah melarang kita untuk tolong-menolong di dalam dosa dan pelanggaran, sebagaimana firman Allah, artinya: "Dan tolong-menolonglah kamu di dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya." (QS. 5:2)


  1. Tidak diperbolehkan kaum muslimin memberikan respon di dalam bentuk apapun yang intinya ada unsur dukungan, membantu atau memeriahkan perayaan orang kafir, seperti : iklan dan himbauan; menulis ucapan pada jam dinding atau fandel; menyablon/membuat baju bertuliskan perayaan yang dimaksud; membuat cinderamata dan kenang-kenangan; membuat dan mengirimkan kartu ucapan selamat; membuat buku tulis;memberi keistimewaan seperti hadiah /diskon khusus di dalam perdagangan, ataupun(yang banyak terjadi) yaitu mengadakan lomba olah raga di dalam rangka memperingati hari raya mereka. Kesemua ini termasuk di dalam rangka membantu syiar mereka.

  1. Kaum muslimin tidak diperbolehkan beranggapan bahwa hari raya orang kafir seperti tahun baru (masehi), atau milenium baru sebagai waktu penuh berkah(hari baik) yang tepat untuk memulai babak baru di dalam langkah hidup dan bekerja, di antaranya adalah seperti melakukan akad nikah,memulai bisnis, pembukaan proyek-proyek baru dan lain-lain. Keyakinan seperti ini adalah batil dan hari tersebut sama sekali tidak memiliki kelebihan dan ke-istimewaan di atas hari-hari yang lain.

  1. Dilarang bagi umat Islam untuk mengucapkan selamat atas hari raya orang kafir, karena ini menunjukkan sikap rela terhadapnya di samping memberikan rasa gembira di hati mereka.Berkaitan dengan ini Ibnul Qayim rahimahullah pernah berkata, "Mengucapkan selamat terhadap syiar dan simbol khusus orang kafir sudah disepakati kaha-ramannya seperti memberi ucapan selamat atas hari raya mereka, puasa mereka dengan mengucapkan, "Selamat hari raya (dan yang semisalnya), meskipun pengucapnya tidak terjeru-mus ke dalam kekufuran, namun ia telah melakukan keharaman yang besar, karena sama saja kedudukannya dengan mengucapkan selamat atas sujudnya mereka kepada salib. Bahkan di hadapan Allah, hal ini lebih besar dosanya daripada orang yang memberi ucapan selamat kapada peminum khamar, pembunuh, pezina dan sebagainya. Dan banyak sekali orang Islam yang tidak memahami ajaran agamanya, akhirnya terjerumus ke dalam hal ini, ia tidak menyadari betapa besar keburukan yang telah ia lakukan. Dengan demikian, barang siapa memberi ucapan selamat atas kemaksiatan, kebid'ahan dan lebih-lebih kekufuran, maka ia akan berhadapan dengan murka Allah". Demikian ucapan beliau rahimahullah!

  1. Setiap muslim harus merasa bangga dan mulia dengan hari rayanya sendiri termasuk di dalam hal ini adalah kalender dan penanggalan hijriyah yang telah disepakati oleh para shahabat Radhiallaahu anhu, sebisa mungkin kita pertahan kan penggunaannya, walau mungkin lingkungan belum mendukung. Kaum muslimin sepeninggal shahabat hingga sekarang (sudah 14 abad), selalu menggunakannya dan setiap pergantian tahun baru hijriyah ini, tidak perlu dengan mangadakan perayaan-perayaan tertentu.

Demikianlah sikap yang seharusnya dimiliki oleh setiap mukmin, hendaknya ia selalu menasehati dirinya sendiri dan berusaha sekuat tenaga menyelamatkan diri dari apa-apa yang menyebabkan kemurkaan Allah dan laknatNya. Hendaknya ia mengambil petunjuk hanya dari Allah dan menjadikan Dia sebagai penolong.

(Disarikan dari: Fatwa Komisi Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Kerajaan Arab Saudi tentang Perayaan Milenium Baru tahun 2000. Ketua: Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Anggota: Syaikh Abdullah bin Abdur Rahman Al-Ghadyan, Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syakh Shalih bin Fauzan Al Fauzan. ([Dept Ilmiah])

SEPUTAR HAID


1. Makna Haid

Menurut bahasa, haid berarti sesuatu yang mengalir. Dan menurut istilah syara' ialah darah yang terjadi pada wanita secara alami, bukan karena suatu sebab, dan pada waktu tertentu. Jadi haid adalah darah normal, bukan disebabkan oleh suatu penyakit, luka, keguguran atau kelahiran. Oleh karena ia darah normal, maka darah tersebut berbeda sesuai kondisi, lingkungan dan iklimnya, sehingga terjadi perbedaan yang nyata pada setiap wanita.

Ada beberapa hal yang terjadi di luar kebiasaan haid:

  1. Bertambah atau berkurangnya masa haid. Misalnya, seorang wanita biasanya haid selama enam hari, tetapi tiba-tiba haidnya berlangsung sampai tujuh hari. Atau sebaliknya, biasanya haid selama tujuh hari, tetapi tiba-tiba suci dalam masa enam hari.

  1. Maju atau mundur waktu datangnya haid. Misalnya, seorang wanita biasanya haid pada akhir bulan lain tiba-tiba pada awal bulan. Atau biasanya haid pada awal bulan lain tiba-tiba haid pada akhir bulan. Para ulama berbeda pendapat dalam menghukumi kedua hal di atas. Namun, pendapat yang benar bahwa searang wanita jika mendapatkan darah haid maka dia berada dalam keadaan haid dan jika tidak mendapatkannya berarti dia dalam keadaan suci, meskipun masa haidnya melebihi atau kurang dari kebiasaannya serta maju atau mundur dari waktu kebiasaannya. Dan telah disebutkan pads pasal terdahulu dalil yang memperkuat pendapat ini, yaitu bahwa Allah telah mengaitkan hukum-hukum haid dengan keberadaan haid. Pendapat tersebut merupakan madzhab ImamAsy-Syafi'I dan menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Pengarang kitab Al Mughni pun ikut menguatkan pendapat ini dan membelanya, katanya: "Andaikata adat kebiasaan menjadi dasar pertimbangan menurut yang disebutkan dalam madzhab, niscaya dijelaskan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam kepada umatnya dan tidak akan ditunda-tunda lagi penjelasannya, karena tidak mungkin beliau menunda-nunda penjelasan pada saat dibutuhkan. Isteri-isteri beliau dan kaum wanita lainnya pun membutuhkan penjelasan itu pada setiap saat, maka beliau tidak akan mengabaikan hal itu. Namun, ternyata tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah menyebutkan tentang adat kebiasaan ini atau menjelaskannya kecuali yang berkenaan denganwanita yang istihadhah saja."

  1. Darah berwarna kuning atau keruh. Yakni seorang wanita mendapatkan darahnya berwarna kuning seperti nanah atau keruh antara kekuning-kuningan dan kehitam-hitaman. Jika hal ini tejadi pada saat haid atau bersambung dengan haid sebelum suci, maka itu adalah darah haid dan berlaku baginya hukum-hukum haid. Namun, jika terjadi sesudah masa suci, maka itu bukan darah haid. Berdasarkan riwayat yang disampaikan oleh Ummu Athiyah Radhiyallahu 'Anha: "Kami tidak menganggap, apa-apa darah yang berwarna kuning atau keruh sesudah masa suci"

Hadits ini diriwayatkan Abu Dawud dengan sanad shahih. Diriwayatkan pula oleh Al-Bukhari tanpa kalimat "sesudah masa suci ", tetapi beliau sebutkan dalam "Bab Darah Warna Kuning Atau Keruh Di Luar Masa Haid". Dan dalam Fathul Baari dijelaskan: "Itu merupakan isyarat Al-Bukhari untuk memadukan antara hadits Aisyah yang menyatakan, "sebelum kamu melihat lendir putih " dan hadits Ummu Athiyah yang disebutkan dalam bab ini, bahwa maksud hadits Aisyah adalah saat wanita mendapatkan darah berwarna kuning atau keruh pada masa haid. Adapun di luar masa haid, maka menurut apa yang disampaikan Ummu Athiyah". Hadits Aisyah yang dimaksud yakni hadits yang disebutkan oleh Al-Bukhari pada bab sebelumnya bahwa kaum wanita pernah mengirimkan kepadanya sehelai kain berisi kapas (yang digunakan wanita untuk mengetahui apakah masih ada sisa noda haid) yang masih terdapat padanya darah berwarna kuning. Maka Aisyah berkata: "Janganlah tergesa-gesa sebelum kamu melihat lendir putih ': maksudnya cairan putih yang keluar dari rahim pada saat habis masa haid.

  1. Darah haid keluar secara terputus-putus. Yakni sehari keluar darah dan sehari lagi tidak keluar. Dalam hal ini terdapat 2 kondisi :

1. Jika kondisi ini selalu terjadi pada seorang wanita setiap waktu, maka darah itu adalah darah istihadhah, dan berlaku baginya hukum istihadhah.

2. Jika kondisi ini tidak selalu terjadi pada seorang wanita tetapi kadangkala saja datang dan dia mempunyai saat suci yang tepat. Maka para ulama berbeda pendapat dalam menentukan kondisi` ketika tidak keluar darah. Apakah hal ini merupakan masa suci atau ternasuk dalam hukum haid?

Madzhab Imam Asy-Syafi'i, menurut salah satu pendapatnya yang paling shahih, bahwa hal ini masih termasuk dalam hukum haid. Pendapat ini pun menjadi pilihan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan pengarang kitab AI-Faiq, juga merupakan madzhab Imam Abu Hanifah. Sebab, dalam kondisi seperti ini tidak didapatkan lendir putih; kalaupun diljadikan sebagai keadaan suci berarti yang sebelumnya adalah haid dan yang sesudahnya pun haid, dan tak ada seorangpun yang menyatakan demikian, karena jika demikian niscaya masa iddah dengan perhitutungan quru' (haid atau suci) akan berakhir dalam masa lima hari saja. Begitu pula jika dijadikan sebagai keadaan suci, niscaya akan merepotkan dan menyulitkan karena harus mandi dan lain sebagainya setiap dua hari; padahal tidaklah syari'at itu menyulitkan. Walhamdulillah.

Adapun yang masyhur menurut madzhab pengikut Imam Ahmad bin Hanbal, jika darah keluar berarti haid dan jika berhenti berarti suci; kecuali apabila jumlah masanya melampaui jumlah maksimal masa haid, maka darah yang melampaui itu adalah istihadhah. Dikatakan dalam kitab Al-Mughni: "Jika berhentinya darah kurang dari sehari maka seyogyanya tidak dianggap sebagai keadaan suci. Berdasarkan riwayat yang kami sebutkan berkenaan dengan nifas, bahwa berhentinya darah yang kurang dari sehari takperlu diperhatikan. Dan inilah yang shahih, Insya Allah. Sebab, dalam keadaan keluarya darah yang terputus-putus (sekali keluar sekalitidak) bila diwajibkan mandi bagi wanita pada setiap saat terhenti keluarnya darah tentu hal itu menyulitkan, padahal Allah Ta 'ala berfinnan: Atas dasar ini, berhentinya darah yang kurang dari sehari bukan merupakan keadaan suci kecuali jika si wanita mendapatkan bukti yang menunjukkan bahwa ia suci. Misalnya, berhentinya darah tersebut: pada akhir masa kebiasaannya atau ia melihat lendir putih." Dengan demikian, apa yang disampaikan pengarang kitab Al-Mughni merupakan pendapat moderat antara dua pendapat di atas. Dan Allah Maha Mengetahui yang benar.

  1. Terjadi pengeringan darah. Yakni, si wanita tidak mendapatkan selain merasa lembab atau basah (pada kemaluannya). Jika hal ini terjadi pada saat masa haid atau bersambung dengan haid sebelum masa suci, maka dihukumi sebagai haid. Tetapi jika terjadi setelah masa suci, maka tidak termasuk haid. Sebab, keadaan seperti ini paling tidak dihukumi sama dengan keadaan darah berwarna kuning atau keruh.

NABI MUHAMMAD DALAM KITAB ORANG PARSI

Selainnya dari Weda, nama Muhammad dapat pula kita jumpai dalam kitab orang Parsi. Kita baca umpamanya dalam Kitab Datasir 14, berkatalah Susan, Nabi orang Parsi: "Apabila orang-orang Parsi sudah terjerumus dalam budi pekerti yang begitu rendah,"'maka seorang akan lahir ditanah Arab" yang pengikut-pengikutnya membalikkan takhta kerajaan agama dan segala barang mereka itu. Seseorang yang berkepala batu yang amat berkuasa di Parsi akan dihalaukan. Rumah yang didirikan itu, dimana berhala-berhala banyak terdapat disitu akan disucikan daripada berhala-berhala itu, dan banyak orang-orang akan menjalankan shalatnya dengan menghadap mukanya ke ka'abah. Pengikut-pengikutnya akan menawan kota-kota Persi, Taush dan Bulhuh serta lain-lain tempat besar sekelilingnya. Rakyat akan kacau menjadi satu, dan orang pandai-pandai di tanah Persi akan menggabungkan diri dengannya." Alangkah tepatnya nubuatan ini, yang digenapi pada tahun 17 Hijrah atau Mei 638M didalam pemerintahan Khalifah Umar bin Khaththab pasukan-pasukan Islam menyerbu ke Persia, dan gugurlah takhta kerajaan orang Persi. Rajanya yang kejam-melarikan diri ke Asyria meminta suaka. Hal ini tepat 29 tahun sesudah kedatangan Nabi Muhammad s.a.w. Heran, heran benar saya jadinya kalau Kraemer, doctor orientalis barat menuliskan keadaan Muhammad sebagai "seorang yang kurang Ilmu" - "pawang unta" - "Muhammad yang tidak pernah melihat Qur'an yang sekarang ini." (Apakah Yesus dan Paulus juga sudah melihat Injil yang seperti sekarang ini Doctor???). Yang kemudian, oleh pengikut-pengikutnya dikhayalkan Muhammad pernah naik ke surga. "Qur'an adalah hanya karangan Muhammad yang dipaksakan kepada pengikut-pengikutnya, berisi jiplakan Perjanjian Lama yang bersifat sajak yang kadang kadang sangat pelong bunyinya dan dibuat-buatnya saja" (supaya lebih puas, bagaimana dan sampai dimana penilaian Dr. Kraemer, baiklah dibaca saja buku "Agama Islam" karangan Dr. Kraemer, yang diterbitkan oleh BPK Kwitang 22 Jakarta terbitan tahun 1953).

NABI MUHAMMAD DALAM KITAB NABI YESAYA

Kitab Nabi Yesaya pasal 41 ayat 1-4 bunyinya:

1. Berdiam dirilah kamu hai sekalian pulau, hendaklah segala bangsa memperbaharui kuat dan kuasanya, serta datang kemari, hendaklah mereka itu memutuskan hukum. Kami hendak bersama-sama datang hampir akan berhukum.

2. Siapa gerangan yang, sudah membangkitkan Dia dari musyrik dan bertemu dengan segala kebenaran pada segala langkahnya? Siapa Dia, yang menyerahkan segala orang-orang kafir dihadapan haderatnya dan akan memberikan kuasa atas segala raja-raja dan menyerahkan mereka seperti duli dan kepada busurnya seperti jerami diterbangkan angin?

3. Pada masa diusirnya mereka itu? Dengan selamat juga ia terus kepada jalan yang belum pernah dilangkahinya,

4. Siapa gerangan sudah mengadakan dan membuat dia, sambil memanggil segala bangsa asal mulanya. Aku ini Tuhan yang pertama, maka Aku ini yang kemudian sama saja. Didalam kutipan tadi, juga dijelaskan lagi, betapa nabi itu akan mengadakan peperangan dan akan mengalahkan orang orang dan raja-raja kafir sekalipun. Didalam ayat ke-3 diceriterakan betapa Nabi itu harus, "Hijrah" ke tanah yang belum pernah dijejakinya, dengan selamat. Hal ini mengingatkan kita kepada "Hijrah Rasulullah" dari Mekkah ke Medinah dengan selamat. Ayat ke-2 menceriterakan bagaimana Muhammad mengalahkan raja-raja dan orang-orang kafir hanya sebagai duli yang diterbangkan angin, serta anak panah-anak panah lawan yang seolah-olah hanya jerami belaka, artinya tidak sampai melumpuhkan Muhammad dan tentaranya. Yesus belum pernah melakukan peperangan selama hidupnya. Sebab doktrin Yesus kita kenal yaitu: Bila ditempeleng pipi kiri berikanlah pula pipi yang kanan, dan cintailah sesamamu manusia, bahkan musuhmu juga. Dengan doktrin ini Yesus tidak mungkin akan mengadakan peperangan-peperangan dan serbuan, apalagi Yesus bukankah pernah mengatakan, bahwa kerajaannya bukanlah di dunia ini? (Yahya 18: 36)

NABI MUHAMMAD DALAM KITAB NABI MALAKHI

Didalam kitab Nabi Malakhi pasal 3 :1: 2 dinyatakan: "Bahwasanya Aku menyuruhkan utusanku, yang menyediakan jalan dihadapan haderatku, dan dengan segera akan datang, kepada ka'abahnya Tuhan, yang kamu rindukan itu. Bahwasanya ia akan datang, demikianlah firman Tuhan serwa sekalian alam. Tetapi siapakah gerangan akan menderita hari kedatangannya? Dan siapa tahan berdiri apabila kelihatanlah dia? Karena iapun akan seperti api pandai emas dan akan seperti sabun binara." "Akan datang seorang utusan," yang seperti nyala api dan sabun binara. Kedatangannya dengan membawa anasir-anasir yang panas, keras seperti sabun binara. Ia tidak datang seperti Yesus yang lembut dan "sunyi senyapnya." Iapun tidak bersikap selemah lembut Yesus, yang mengasuh ummat seperti seekor induk ayam mengumpulkan dan menaungi anak-anaknya. Alangkah penyabarnya Yesus ini. Tetapi akan orang yang datang sesudah Yesus itu? Dengan panas seperti panasnya api pandai emas jua ia membakar bumi Arabia bahkan sampai ke ujung Hispanola dengan seruan jihadnya yang sangat menggetarkan hati lawan lawannya: "Allahu Akbar."

MENIKAH DENGAN NON MUSLIM

Di antara masalah yang membuat miris hati kaum muslimin yang konsisten dengan ajaran Islam, banyaknya orang yang menikah dengan pasangan yang berbeda aqidah tanpa mengindahkan larangan dan aturan agama. Oleh sebab itu, masalah tersebut perlu dibahas dengan merujuk kepada Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dan sabda Rasul-Nya Shallallaahu alaihi wa Sallam dengan penjelasan para ulama.

Muslimah Menikah dengan Laki-Laki Non Muslim.

Tidak ada seorang ulama pun yang membolehkan wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, bahkan ijma’ ulama menyatakan haramnya wanita muslimah menikah dengan laki-laki non muslim, baik dari kalangan musyrikin (Budha, Hindu, Majusi, Shinto, Konghucu, Penyembah kuburan dan lain-lain) ataupun dari kalangan orang-orang murtad dan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani).1 Hal ini berdasarkan firman Allah

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka, maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kemba-likan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir, mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka.” (Al Mumtahanah: 10)

Di dalam ayat ini, sangat jelas sekali Allah Subhanahu wa Ta'ala menjelaskan bahwa wanita muslimah itu tidak halal bagi orang kafir. Dan di antara hikmah pengharaman ini adalah bahwa Islam itu tinggi dan tidak ada yang lebih tinggi darinya.2 Dan sesungguhnya laki-laki itu memilki hak qawamah (pengendalian) atas istrinya dan si istri itu wajib mentaatinya di dalam perintah yang ma’ruf. Hal ini berarti mengandung makna perwalian dan kekuasaan atas wanita, sedangkan Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan kekuasaan bagi orang kafir terhadap orang muslim atau muslimah.3 Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,

“Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir atas orang-orang mu’min.” (An Nisaa: 141).

Kemudian suami yang kafir itu tidak mengakui akan agama wanita muslimah, bahkan dia itu mendustakan Kitabnya, mengingkari Rasulnya dan tidak mungkin rumah tangga bisa damai dan kehidupan bisa terus berlangsung bila disertai perbedaan yang sangat mendasar ini.4

Dan di antara dalil yang mengharamkan pernikahan ini adalah firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala ,

“Dan jangalah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (Al Baqarah: 221).

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa Ta'ala melarang para wali (ayah, kakek, saudara, paman dan orang-orang yang memiliki hak perwalian atas wanita) menikahkan wanita yang menjadi tanggung jawabnya dengan orang musyrik. Yang dimaksud musyrik di sini adalah semua orang yang tidak beragama Islam, mencakup penyembah berhala, Majusi, Yahudi, Nashrani dan orang yang murtad dari Islam.5

Ibnu Katsir Asy Syafi’iy rahimahullah berkata, “Janganlah menikahkan wanita-wanita muslimat dengan orang-orang musyrik.”6

Al Imam Al Qurthubiy rahimahullah berkata, “Janganlah menikahkan wanita muslimah dengan orang musyrik. Dan Umat ini telah berijma’ bahwa laki-laki musyrik itu tidak boleh menggauli wanita mu’minah, bagaimanapun bentuknya, karena perbuatan itu merupakan penghinaan terhadap Islam.”7

Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata, (Ulama ijma’) bahwa muslimah tidak halal menjadi istri orang kafir.8

Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iriy hafidhahullah berkata, “Tidak halal bagi muslimah menikah dengan orang kafir secara mutlaq, baik Ahlul Kitab ataupun bukan.”9

Syaikh Shalih Al Fauzan hafidhahullah berkata, “Laki-laki kafir tidak halal menikahi wanita muslimah,10 berdasarkan firman-Nya Subhanahu wa Ta'ala, “Dan jangalah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman.” (Al Baqarah: 221).

Jelaslah bahwa pernikahan antara muslimah dengan laki-laki non muslim itu adalah haram, tidak sah dan bathil.

Pernikahan Laki-Laki Muslim dengan Wanita Non Islam.

Sebagaimana wanita muslimah haram dinikahi oleh laki-laki non muslim, begitu juga laki-laki muslim haram menikah dengan wanita non Islam, berdasarkan Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman.” (Al Baqarah: 221).

Ayat ini secara umum menerangkan keharaman laki-laki muslim menikah dengan wanita musyrik (kafir), meskipun ada ayat yang mengecualikan darinya, yakni untuk wanita ahlu kitab, yang akan kita bahas nanti. Tidak boleh seorang muslim menikahi wanita Budha, Hindu, Konghucu, Shinto, wanita yang murtad dari Islam. Dan jika seorang laki-laki kafir masuk Islam sedangkan istrinya tidak atau bila si istri murtad dari Islam, maka dia harus melepaskannya, berdasar-kan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

“Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir.” (Al Mumtahanah: 10).

Di dalam hal ini, sama saja baik wanita itu murtad masuk agama Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) atau agama lainnya atau tidak masuk agama mana-mana atau dia itu tidak shalat, tetap pernikahannya lepas, karena Islam tidak mengakui statusnya saat masuk agama barunya, berbeda kalau memang dia dari awalnya termasuk Ahlul Kitab, maka hal ini memiliki hukum tersendiri.

Namun dari keharaman menikahi wanita kafir ini dikecualikan terhadap wanita dari kalangan Ahlul Kitab (Yahudi dan Nashrani) yang memang sejak awal dia memeluk agama ini, bukan karena murtad, ini adalah pendapat Jumhur Ulama,11 yang didasarkan pada Firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ,

“Dan (dihalalkan bagi kalian meni-kahi) wanita-wanita yang menjaga kehor-matan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kalian.” (Al Maidah: 5)

Namun demikian, para ulama meng-anggap makruh12 pernikahan muslim dengan wanita Ahlul Kitab. Umar Ibnu Al Khaththab Radhiallaahu anhu pernah memerintahkan Hudzaifah agar melepas istrinya yang beragama Yahudi, beliau berkata, “Saya tidak mengklaim itu haram, namun saya khawatir kalian mendapatkan wanita-wanita pezina dari mereka.”1314

Ibnu Umar Radhiallaahu anhu berpendapat, haram hukumnya menikahi wanita Ahlul Kitab. Beliau berkata saat ditanya tentang laki-laki muslim menikahi wanita Yahudi atau Nashrani, “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkan menikahi wanita-wanita musyrik atas kaum muslimin dan saya tidak mengetahui sesuatu dari syirik yang lebih dahsyat dari perkataan wanita, bahwa Tuhannya adalah Isa, atau hamba dari hamba Allah Subhanahu wa Ta'ala.”15

Namun sebenarnya ada perbedaan antara syiriknya orang-orang musyrik dengan syiriknya Ahlul Kitab, yaitu kemusy-rikan di dalam keyakinan orang musyrik adalah asli (pokok) ajaran mereka, sedangkan syirik pada Ahlul Kitab adalah bid’ah di dalam agama mereka, ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah t.16

Dan perlu diingat bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala hanya membolehkan menikahi wanita Ahlul Kitab, jika wanita itu wanita yang selalu menjaga kehormatannya, selain mereka, Allah Subhanahu wa Ta'ala mengharamkannya. Selanjutnya kita patut bertanya, “Adakah wanita ahlul kitab yang mampu menjaga kehormatannya?” Realitas menunjuk-kan, wanita-wanita muslim pun banyak yang tak sanggup menjaga kehormatan diri mereka, yang di antaranya disebabkan oleh profokasi wanita ahlul kitab. Yang terpengaruh sudah begitu parah keadaannya, bagaimana lagi yang mempengaruhi (yang merupakan sumber kehinaan diri). Untuk itu, setiap muslim dituntut agar bersikap selektif dan waspada demi menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, apalagi dalam hal yang menyangkut keselamatan akidah dan masa depan Islam dan kaum muslimin. Wallahu a’lam. (Abu Sulaiman)

Endnote:

1. Fiqhus Sunnah: 2/181, Rawai’ul Bayan 1/289.

2. Rawai’ul Bayan 1/289.

3. Fiqhus Sunnah: 2/181

4. Fiqhus Sunnah: 2/181

5. Rawai’ul Bayan 1/289.

6. Tafsir Al Quranil Adhim 1/348.

7. Al Jami’ Li Ahkamil Qur’an 3/67, lihat pula Fathul Qadir Karya Asy Syaukani 1/284, Fathul Bayan Fi Maqaslidil Qur’an karya Shiddiq Hasan Khan 1/446.

8. Al Ijma Karya Ibnu Abdil Barr: 250.

9. Minhajul Muslim: 563.

10. Al Mulakhkhash Al Fiqhiy 2/272.

11. Al Mulakhkhash Al Fiqhiy 2/272, Fiqhus Sunnah 2/179, Tafsir Ibni Katsir 1/347, Al Jami Li Ahkamil Qur’an 3/63-65, Asy Syarhul Kabir Karya Ar Rafiiy 8/67-73, Rawai’ul Bayan 1/287.

12.Ini dikarenakan kekhawatiran akan pengaruh isteri terhadap suaminya juga akan anak-anaknya.

13. Isnadnya shahih, lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/347.

14. Dan memang untuk zaman sekarang sangat sulit mencari wanita yang mampu menjaga kehormatan dari kalangan Yahudi dan Nashrani.

15. Tafsir Ibnu Katsir ibid, Al Jami Li Ahkamil Qur’an ibid, Rawai’ul Bayan ibid.

16. Al Fatawa Al Kubraa 3/116-117.

MEMBENTUK KELUARGA ISLAMI

Mayoritas manusia tentu mendambakan kebahagiaan, menanti ketentraman dan ketanangan jiwa. Tentu pula semua menghindari dari berbagai pemicu gundah gulana dan kegelisahan. Terlebih dalam lingkngan keluarga.

Ingatlah semua ini tak akan terwujud kecuali dengan iman kepada Alloh, tawakal dan mengembalikan semua masalah kepadaNya, disamping melakukan berbagai usaha yang sesuai dengan syari’at.

Pentingnya Keharmonisan Keluarga

Yang paling berpengaruh buat pribadi dan masyarakat adalah pembentukan keluarga dan komitmennya pada kebenaran. Alloh dengan hikmahNya telah mempersiapkan tempat yang mulia buat manusia untuk menetap dan tinggal dengan tentram di dalamnya. FirmanNya: “dan diantara tanda-tanda kekuasanNya adalah Dia mencipatakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan diajadikanNya diantara kamu rasa kasih sayang. Sungguh pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (Ar Rum: 21)

Ya…supaya engkau cenderung dan merasa tentram kepadanya (Alloh tidak mengatakan: ‘supaya kamu tinggal bersamanya’). Ini menegaskan makna tenang dalam perangai dan jiwa serta menekankan wujudnya kedamaian dalam berbagai bentuknya.

Maka suami istri akan mendapatkan ketenangan pada pasangannya di kala datang kegelisahan dan mendapati kelapangan di saat dihampiri kesempitan.

Sesungguhnya pilar hubungan suami istri adalah kekerabatan dan pershabatan yang terpancang di atas cinta dan kasih sayang. Hubungan yang mendalam dan lekat ini mirip dengan hubungan seseorang dengan dirinya sendiri. Al Qur’an menjelaskan: “Mereka itu pakaian bagimu dan kamu pun pakaian baginya.” (Al Baqarah: 187)

Terlebih lagi ketika mengingat apa yang dipersiapkan bagi hubungan ini misalnya; penddidikan anak dan jaminan kehidupan, yang tentu saja tak akan terbentuk kecuali dalam atmosfir keibuan yang lembut dan kebapakan yang semangat dan serius. Adakah di sana komunitas yang lebih bersih dari suasana hubungan yang mulia ini?

Pilar Peyangga Keluarga Islami

  1. Iman dan Taqwa

Faktor pertama dan terpenting adalah iman kepada Alloh dan hari akhir, takut kepada Dzat Yang memperhatikan segala yang tersembunyi serta senantiasa bertaqwa dan bermuraqabbah (merasa diawasi oleh Alloh) lalu menjauh dari kedhaliman dan kekeliruan di dalam mencari kebenaran.

“Demikian diberi pengajaran dengan itu, orang yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Dia kan mengadakan baginya jalan keluar. Dan Dia kan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaya Alloh akan mencukupkan keperluannya.” (Ath Thalaq: 2-3)

Di antara yang menguatkan tali iman yaitu bersungguh-sungguh dan serius dalam ibadah serta saling ingat-mengingatkan. Perhatikan sabda Rasululloh: “Semoga Alloh merahmati suami yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula istrinya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya. Dan semoga Alloh merahmati istri yang bangun malam hari lalu shalat dan membangunkan pula suaminya lalu shalat pula. Jika enggan maka dipercikkannya air ke wajahnya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An Nasa’i, Ibnu Majah).

Hubungan suami istri bukanlah hubungan duniawi atau nafsu hewani namun berupa interaksi jiwa yang luhur. Jadi ketika hubungan itu shahih maka dapat berlanjut ke kehidupan akhirat kelak. FirmanNya: “Yaitu surga ‘Adn yang mereka itu masuk di dalamnya bersama-sama orang yang shaleh dari bapak-bapaknya, istri-istrinya dan anak cucunya.” (Ar Ra’du: 23)

  1. Hubungan Yang Baik

Termasuk yang mengokohkan hal ini adalah pergaulan yang baik. Ini tidak akan tercipt akecuali jika keduanya saling mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.

Mencari kesempurnaan dalam keluarga dan naggotanya adalah hal mustahil dan merasa frustasi daklam usha melakukan penyempurnan setiap sifat mereka atau yang lainnya termasuk sia-sia juga.

  1. Tugas Suami

Seorang suami dituntut untuk lebih bisa bersabar ketimbang istrinya, dimana istri itu lemah secara fisik atau pribadinya. Jika ia dituntut untuk melakukan segala sesuatu maka ia akan buntu.

Teralalu berlebih dalam meluruskannya berarti membengkokkannya dan membengkokkannya berarti menceraikannya. Rasululloh bersabda: “Nasehatilah wanita dengan baik. Sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk dan bagian yang bengkok dari rusuk adalah bagian atasnya. Seandainya kamu luruskan maka berarti akan mematahkannya. Dan seandainya kamu biarkan maka akan terus saja bengkok, untuk itu nasehatilah dengan baik.” (HR. Bukhari, Muslim)

Jadi kelemahan wanita sudah ada sejak diciptakan, jadi bersabarlah untuk menghadapinya.

Seorang suami seyogyanya tidak terus-menerus mengingat apa yang menjadi bahan kesempitan keluarganya, alihkan pada beberapa sisi kekurangan mereka. Dan perhatikan sisi kebaikan niscaya akan banyak sekali.

Dalam hal ini maka berperilakulah lemah lembut. Sebab jika ia sudah melihat sebagian yang dibencinya maka tidak tahu lagi dimana sumber-sumber kebahagiaan itu berada. Alloh berfirman; “Dan bergaullah bersama mereka dengan patut. Kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka bersabarlah Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu padahal Aloh menjadikannya kebaikan yang banyak.” (An Nisa’: 19)

Apabila tidak begitu lalu bagaimana mungkin akan tercipta ketentraman, kedamaian dan cinta kasih itu: jika pemimpin keluarga itu sendiri berperangai keras, jelek pergaulannya, sempit wawasannya, dungu, terburu-buru, tidak pemaaf, pemarah, jika masuk terlalu banyak mengungkit-ungkit kebaikan dan jika keluar selalu berburuk sangka.

Padahal sudah dimaklumi bahwa interaksi yang baik dan sumber kebahagiaan itu tidaklah tercipta kecuali dengan kelembutan dan menjauhakan diri dari prasangka yang tak beralasan. Dan kecemburuan terkadang berubah menjadi prasangka buruk yang menggiringnya untuk senantiasa menyalah tafsirkan omongan dan meragukan segala tingkah laku. Ini tentu akan membikin hidup terasa sempit dan gelisah dengan tanpa alasan yang jelas dan benar.

  1. Tugas Istri

Kebahagiaan, cinta dan kasih sayang tidaklah sempurna kecuali ketika istri mengetahui kewajiban dan tiada melalaikannya.

Berbakti kepada suami sebagai pemimpin, pelindung, penjaga dan pemberi nafkah. Taat kepadanya, menjaga dirinya sebagi istri dan harta suami. Demikian pula menguasai tugas istri dan mengerjakannya serta memperhatikan diri dan rumahnya.

Inilah istri shalihah sekaligus ibu yang penuh kasih sayang, pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya. Juga mengakui kecakapan suami dan tiada mengingkari kebaikannya.

Untuk itu seyogyanya memaafkan kekeliruan dan mangabaikan kekhilafan. Jangan berperilaku jelek ketika suami hadir dan jangan mengkhianati ketika ia pergi.

Dengan ini sudah barang tentu akan tercapai saling meridhai, akan langgeng hubungan, mesra, cinta dan kasih sayang. Dalam hadits: “Perempuan mana yang meninggal dan suaminya ridha kepadanya maka ia masuk surga.” (HR. Tirmidzi, Hakim, Ibnu Majah)

Maka bertaqwalah wahai kaum muslimin! Ketahuilah bahwa dengan dicapainya keharmonisan akan tersebarlah semerbak kebahagiaan dan tercipta suasana yang kondusif bagi tarbiyah.

Selain itu tumbuh pula kehidupan di rumah yang mulia dengan dipenuhi cinta kasih dan saling pengertian anatar sifat keibuan yang penuh kasih sayang dan kebapakan yang tegas, jauh dari cekcok, perselisihan dan saling mendhalimi satu sama lain. Juga tak ada permusuhan dan saling menyakiti.

Penutup

Lurusnya keluarga menjadi media untuk menciptakan keamanan masyarakat. Bagaimana bisa aman bila ikatan keluarga telah amburadul. Padahal Alloh memberi kenikmatan ini yaitu kenikmatan kerukunan keluarga, kemesraan dan keharmonisannya.

Hubungan suami istri yang sangat solid dan fungsinya sebagai orang tua di tambah anak-anaknya yang tumbuh dalam asuhan mereka, merupakan gambaran umat terkini dan masadepan. Karena itu ketika setan berhasil menceraikan hubungan keluarga dia tidak sekadar menggoncangkan sebuah keluarga namun juga menjerumuskan masyarakat seluruhnya ke dalam kebobrokan yang merajalela. Realita sekarang menjadi bukti.

Semoga Alloh merahmati pria yang perilakunya terpuji, baik hatinya, pandai bergaul (terhadap keluarga), lemah lembut, pengasih, penyayang, tekun, tidak berlebihan dan tiada lalai dengan kewajibannya. Semoga Alloh merahmati pula wanita yang tidak mencari-cari kekeliruan, tidak cerewet, shalihah, taat dan memelihara dirinya ketika suaminya tidak ada karena Alloh telah memeliharanya.

Bertaqwalah wahai kaum muslimin, wahai suami istri. Barang siapa yang bertaqwa kepada Alloh niscaaya akan dimudahkan urusannya. (Syeikh Shalih bin Abdullah bin Al Humaid).